Permasalahan Sektor Hulu dan Hilir Migas
Minyak dan gas bumi (Migas) adalah sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara sesuai amanat pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Migas mejadi komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha migas memberikan nilai tambah secara nyata keapada pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Penyelenggaraan kegiatan usaha migas harus berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, iklim investasi di sektor migas kian memburuk. Kontrak migas yang awalnya menggunakan skema antar pelaku bisnis (business to business/B2B) menjadi pemerintah dan pelaku bisnis (government to business/G2B). Perubahan skema tersebut menambah risiko usaha dan menyebabkan sulitnya izin usaha di sektor migas. Rendahnya minat investasi sektor migas bahkan terjadi pada saat harga minyak mencapai level US$100/barel. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat penemuan cadangan baru. Indonesia menjadi negara dengan tingkat penemuan cadangan baru migas terendah di ASEAN sejak tahun 2003 hingga 2013. Padahal, laju konsumsi bahan bakar migas nasional terus naik seiring dengan pertumbuhan populasi kendaraan bermotor dan konsumsi bahan bakar gas untuk rumah tangga, industri dan pembangkit listrik.
Sementara itu di sektor hilir, pemerataan distribusi migas masih menjadi permasalahan di berbagai daerah. Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas telah diamanatkan oleh Pemerintah untuk mewujudkan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Upaya ini terkendala akibat masih kurangnya sebaran Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di daerah. Belum adanya lembaga penyalur resmi BBM di daerah, tingginya biaya transportasi akibat kondisi geografis yang sulit ditempuh dan infrastruktur yang belum memadai adalah beberapa faktor yang menyebabkan pemerataan distribusi migas belum dapat terwujud.
Permasalahan yang terkait dengan sektor hulu dan hilir migas yang ditemukan, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Lifting minyak nasional saat ini hanya mencapai di kisaran 800 ribu barrel/hari, jauh dari kebutuhan minyak domestik yaitu 1,6 juta barrel/hari. Indonesia kini tidak hanya berstatus sebagai net importer minyak, namun juga terancam menjadi net importer untuk gas. Indonesia diproyeksikan membutuhkan tambahan suplai gas sebesar 3.100 juta mmscfd dalam lima tahun mendatang untuk memenuhi permintaan gas domestik bagi pembangkit listrik dan pabrik pupuk. Perlu ditemukan cadangan migas baru di daerah untuk mendukung ketahanan energi nasional. Pemerintah Daerah harus dapat memberikan masukan pertimbangan untuk Menteri ESDM baik di dalam penetapan wilayah usaha maupun terkait rencana pengembangan lapangan sesuai pasal 12 ayat (1) dan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Migas. Pemerintah Daerah harus dapat memberi penjelasan dan memperoleh informasi mengenai rencana penawaran wilayah-wilayah tertentu yang dianggap potensial mengandung sumber daya Minyak dan Gas Bumi menjadi Wilayah Kerja. Pelaksanaan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan dengan Gubernur yang memimpin penyelenggaraan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Kedua, Rendahnya minat investasi di sektor Migas mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan insentif fiskal dalam bentuk pemotongan pajak bagi kontraktor KKS Migas. Kontraktor usaha hulu Migas dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, Bea Masuk, PPN Dalam Negeri, dan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Namun, masih ada upaya dari swasta untuk menghapus pajak dan retribusi daerah. Pemerintah Daerah harus menjaga PAD sektor Migas agar masyarakat di daerah penghasil migas tetap dapat menikmati hasil pembangunan dari kontribusi sektor Migas sesuai yang diamanatkan oleh pasal 3 ayat (1) UU Migas.
Ketiga, Pelibatan Pemerintah Daerah untuk ikut memiliki bagian saham dalam wilayah kerja pertambangan migas telah diatur oleh Pemerintah dengan mewajibkan kontraktor untuk menawarkan participating interest (PI) sebesar 10% untuk Pemerintah Daerah untuk kegiatan usaha migas melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Gubernur diberikan waktu maksimal 1 tahun untuk mengajukan BUMD pengelola PI wilayah kerja migas atau dianggap tidak berminat dan hak tersebut dialihkan ke BUMN. Namun, kebutuhan investasi yang besar dan kemampuan finansial daerah yang minim menyebabkan dana pengelolaan ditanggung oleh kontraktor tanpa bunga. Hal ini melemahkan daya tawar BUMD sehingga jatah saham tersebut tidak menjadi sepenuhnya milik daerah. Pemerintah Daerah harus dapat mendukung pembentukan BUMD pengelola PI wilayah kerja Migas dengan kekuatan modal yang cukup sehingga kegiatan usaha migas dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah.
Keempat, Partisipasi Pemerintah Daerah dibutuhkan untuk memangkas perizinan terkait kegiatan usaha Migas untuk kontraktor KKS. Dengan mempersulit penerbitan izin daerah melalui Peraturan Daerah yang tidak memberi nilai tambah pada operasi perminyakan, kegiatan usaha wilayah kerja Migas terhambat. Hal ini menyebabkan tertundanya pembagian deviden, sementara Pemerintah Daerah memiliki hak atas kepemilikan saham sebesar 10% dari kegiatan usaha Migas. Pemerintah Daerah perlu menerbitkan aturan mengenai prosedur perizinan wilayah kerja Migas yang ringkas namun tetap dengan pengawasan yang ketat.
Kelima, Menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Migas, kegiatan usaha hulu migas dilakukan oleh perusahaan yang telah menandatangani kontrak kerjasama dengan pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Namun, masih ditemukan kegiatan pengeboran minyak illegal dengan menyerobot sumur aset negara yang dikelola oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sehingga berpotensi membahayakan penambang dan masyarakat sekitar. Pengeboran illegal tidak melalui standar prosedur operasi pengeboran minyak sesuai amanat Pasal 11 ayat (33) UU Migas sehingga rawan terjadi ledakan di sumur minyak dan kerusakan lingkungan akibat limbah minyak yang tumpah. Aturan mengenai pengelolaan sumur tua menjadi celah regulasi yang memungkinkan terjadinya pengeboran ilegal. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat berperan untuk memelihara dan mengelola sumur tua aset negara sehingga dapat mencegah terjadinya pengeboran ilegal di daerah.
Ketujuh, Saat ini, rata-rata 1 SPBU melayani radius 300 km sehingga sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Dalam hal ini, peran Pemerintah Daerah dan koordinasi dengan BPH Migas sangat dibutuhkan untuk mendukung ekonomi kerakyatan, keadilan sosial, dan pemerataan pembangunan. Demi mewujudkan upaya pemerataan distribusi migas dan BBM satu harga seperti yang dicanangkan pemerintah, perlu adanya program satu desa satu sub penyalur BBM melalui pengadaan pom bensin mini di setiap desa, terutama di daerah 3T.
Kedelapan, Kondisi geografis di beberapa wilayah di Indonesia yang masih sulit dijangkau sehingga membuka peluang terjadinya praktik penimbunan BBM dan BBG yang menyebabkan kelangkaan. Bentuk penyelewengan dilakukan oleh badan usaha di beberapa daerah dengan membuat laporan palsu tentang penugasan penyaluran BBM satu harga Premium dan Solar Bersubsidi di wilayah yang belum memiliki fasilitas penyalur BBM satu harga. BBM tersebut kemudian dijual ke pengepul untuk dijual eceran ke masyarakt dengan harga yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Sehingga, pengawasan perlu dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. Masyarakat juga perlu dilibatkan dan diikutsertakan dalam pengawalan distribusi BBM dan BBG di daerah.
Kesembilan, Pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk fasilitas penunjangnya bersama pihak lain di wilayah yang mengalami kelangkaan BBM belum efektif dilakukan. Menurut Pasal 29 ayat (1) UU Migas, dibuka kesempatan bagi pemanfaatan bersama pihak lain terhadap fasilitas yang dimiliki suatu Badan Usaha berdasarkan kesepakatan bersama dalam rangka meningkatkan optimasi penggunaan fasilitas dan efisiensi pengusahaan guna menekan biaya distribusi, terutama dalam hal terjadi kekurangan penyediaan Bahan Bakar Minyak di suatu wilayah dan di daerah yang relatif terpencil.
Semoga permasalahan ini segera teratasi oleh Pemerintah karena migas merupakan urat nadi kehidupan masyarakat sehari-hari.