Aceh & Kedaulatan Energi
Pasca Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Wakil Ketua DPD RI Prof. Dr. Ir. Hj. Darmayanti Lubis, Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba S.H., M.M., salah satu yang menarik adalah hadir dua perusahaan gas dari Aceh yakni Perta Arus Gas dan PT. Triangle Pase Inc.. Kemudian kelangkaan gas industri di Sumatera Utara pada beberapa bulan yang lalu, hal ini membuat Kawasan Industri Medan kewalahan untuk mengalami pengurangan pasokan gas yang berdampak kepada sektor industri akibatnya banyak ratusan pekerja pabrik yang terancam akan dirumahkan. Salah satu yang menarik ialah ada Aceh dijadikan sebagai solusi. Dari perwakilan Perta Arus Gas menguraikan bahwa saat ini pasokan gas berasl dari dua sumber gas (sumur) dan LNG, yang menjadi permasalahan adalah LNG lebih mahal dibandingkan dengan gas. Dalam hal ini, LNG juga memerlukan proses regasifikasi sebelum didistribusikan ke end user. Pasokan gas bisa lebih optimal apabila ada tambahan input LNG dalam penyediaan pasokan gas di Sumatera Utara. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah end user memiliki willingness to pay terhadap gas yang berasal dari LNG? Masalah harga bukan menjadi persoalan karena sudah diatur oleh Kementerian hal ini lebih kepada individual perusahaan atau willingness to pay end user.
Secara yuridis energi sudah diatur dalam UUD Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Turunan dari ayat ini terbentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, selaras dengan ketentuan tentang energy tesebut Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 ayat (1) yang secara tegas dinyatakan bahwa terkait urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Artinya, pemerintah pusat memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menjadikan daerahnya masing-masing agar berdaulat dalam bidang energi. Pemerintah Pusat telah memperkuat kemampuanya di dalam mengelola sektor hulu minyak dan gas, hal ini dibuktikan diambil alih Blok Mahakam, Balikpapan, Kalimantan Timur oleh PT. Pertamina terhitung sejak 1 Januari 2018 sebagai langkah memperkuat kedudukan energi nasional.
Di sisi lain, Aceh mempunyai ketersediaan energi listrik yang cukup akan tetapi dalam praktek sehari-hari, Perusahaan Listrik Negara (PLN) membuat kebijakan pemadaman bergilir. Padahal salah satu petinggi PLN Aceh pernah mengungkapkan Aceh sudah berada pada tahap surplus daya, sementara kondisi sebenarnya tidaklah demikian. Untuk mendeskripsikan Aceh darurat energi tersebut ialah, pada saat beban puncak di Aceh (antara jam 19.00-22.00) kebutuhan daya di Aceh mencapai 360 MegaWatt (MW). Sedangkan daya yang tersedia hanya sekitar 355 MW dengan catatan pasokan dari berbagai penyedia berjalan normal. Sebagai gambaran, sumber pasokan daya yang berjalan selama ini berasal: Suplai dari Belawan sebesar 165 MW, PLTMG Arun sebesar 105 MW, PLTU Nagan hanya 55 MW dari target 200 MW, dan PLTD Lueng Bata sebesar 30 MW. (Elly Sufriadi, 2017: aceh.tribunews.com).
Problem energi di Aceh sebenarnya tidak ada masalah lagi karena energi fosil dan energi non fosil melimpah namun pengelolaan energi di Aceh masih sangat minim. Pengeloaan energi juga masih terpusat sifanya, Pemerintah Pusat tidak serta merta memberikan kuasa terhadap Pemerintah Aceh untuk mengelola energi di Aceh. Hal ini dibuktikan lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 160 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan di laut di wilayah kewenangan Aceh”. Kemudian turunan Pasal 160 memerintahkan agar dibentuknya Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi.
Pasca 9 tahun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hadir, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Peraturan ini mempertegas terminologi tentang pengelolaan bersama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh secara bersama-sama terhadap pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan di laut di wilayah kewenangan Aceh”. Dalam peraturan tersebut ada beberapa yang menjadi fungsi BPMA itu antara lain: Pertama, Kehadiran BPMA secara yuridis dan dilindungi dapat melaksanakan negosiasi dan perbuatan perjanjian kerja sama di bidang minyak dan gas bumi yang dilakukan pemerintah dan Pemerintah Aceh. Kedua, Penandatanganan Kontrak Kerja Sama langsung dilaksanakan oleh BPMA itu sendiri tanpa SKK Migas dan BPH Migas. Ketiga, Mengkaji rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dalam suatu wilayah kerja. Keempat, menyampaikan hasil kajian mengenai rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dala suatu wilayah kerja yang telah mendapat persetujuan gubernur kepada menteri. Kelima, memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selanjutnya. Keenam, memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran badan usaha/bentuk usaha tetap. Ketujuh, melaksanakan monitoring dan melaporkan pelaksanaan kontrak kerja sama kepada menteri dan gubernur. Kedelapan. Memberikan rekomendasi penjual minyak dan/atau gas bumi dari pengelolaan bersama yang telah mendapat persetujuan Gubernur kepada menteri, yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Dari semua fungsi BPMA di atas, mengartikan bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh merupakan wujud kepercayaan yang ikhlas dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan di Aceh. Semoga kehadiran BPMA dapat mengurangi krisis energi yang selama ini dialami oleh masyarakat Aceh. Kemudian tujuan yang paling utama adalah pasca