Pengadilan HAM untuk Aceh
Catatan sejarah menjelaskan kepada kita bahwa Aceh beberapa kali mengalami gelombang konflik. Konflik antara Aceh dengan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1976 telah menjadi salah satu cerita fenomenal dari beberapa deretan panjang cerita daerah konflik di Indonesia. Beberapa lietaratur telah menjelaskan begitu banyak tentang asal mula konflik Aceh. Sejarah konfik ini membuat Aceh menjadi perhatian banyak pihak, baik nasional maupun internasional, perang demi perang, ketangguhan melawan penjajah dengan kekuatan asing seperti Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang, konflik dengan pemerintah pusat di Republik Indonesia sendiri, hingga tragedi Gempa dan Tsunami pada 26 Desember 2004. (Annisa Putri Andini: 2014, 4).
Salah satu konflik yang tak terlupakan oleh masyarakat Aceh yang mencuat sejak Dr. Tgk. Hasan Ditiro mendeklarasikan Aceh Merdeka, beberapa penyebab ketika di inventarisasi antara lain. Pertama, ketika abad ke 20 terjadi fenomena di mana rakyat Aceh merasa mendapat perlakuan tidak adil dalam bidang politik, ekonomi, hingga dilakukannya penerapan DOM (Daerah Operasi Militer) 1989-1998 yang telah banyak menimbulkan korban sipil. Ketidakpuasan dan resistensi GAM yang didukung warga Aceh terhadap pemeritah pusat dianggap sentralistik dan tidak aspiratif. Kedua, adanya kekecewaan dari masyarakat lokal terkait identitas lokal, ekonomi, dan harga diri. Ditilik dari sejarahnya berbagai kekecewaan yang dialami rakyat Aceh pada pemerintah pusat tersebutlah menyebabkan muncul gerakan separatis yang diprakarsai oleh Hasan Tiro pada 4 Desember tahun 1976, di mana gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi Aceh yang terpisah dari Republik Indonesia.
Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Laporan Tim Aceh juga menuliskan mengenai penyebab munculnya GAM di Aceh. Bahwa selama hampir 30 tahun berlangsung korban konflik GAM dengan Pemerintah Pusat telah menelan puluhan ribu jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. (Eddy MT Sianturi: 2011). Tentu hal ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Banyak temuan-temuan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa konflik Aceh yang sudah dipublikasi oleh lembaga yang bergerak di bidang penegakan HAM menurut temuannya masing-masing. Komisi Independen Pengusutan Tindakan Kekerasann di Aceh bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer merupakan suatu jenis kekerasan negara (state violence). Artinya kekerasan yang terjadi di Aceh dipersepsikan secara kuat oleh masyarakat sebagai “dipelihara” oleh negara dalam rangka mengamankan proses eksploitasi kekayaan alam dari Aceh untuk kepentingan pusat, kepentingan elit pusat maupun lokal. (ITCJ: 2011, 20).
Setelah damai dalam Nota Kesepahaman GAM-RI, salah satu klausul dalam perjanjian damai adalah memberikan Aceh sebuah Pengadilan HAM, dalam butir 2.3 “Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh”. Klausul perjanjian ini diadopsi atau dituangkan dalam bentuk frasa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 228 “Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh”.
Hingga saat ini sudah 13 tahun damai baik Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh dan DPRA tidak ada menunjukkan keseriusannya untuk membentuk Pengadilan HAM di Aceh. Seharusnya ini tanggung jawab negara untuk menegakkan HAM dan memberikan keadilan bagi korban di Aceh pada masa lalu.
Sepanjang perjalanan konflik Aceh dan dari sekian pelanggaran HAM yang terjadi hanya empat kasus yang diselesaikan secara hukum, yaitu kasus perkosaan terhadap Sumiati di Pidie (1998), kasus penyiksaan dan pembunuhan di Gedung KNPI Lhoksemawe (1999), kasusu pembunuhan massal terhadap Teungku Bantaqiah dan santrinya di Beutong Ateuh (1999), dan kasus pemerkosaan di Paya Bakong (2003). (Hendra Fadli dan Asiah Uzia: 2009, 23). Semua kasus di atas, termasuk kategori state violence yang menjadi tanggung jawab utama adalah negara. Dalam hal kasus pelanggaran HAM berat di Aceh MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tidak mendefinisikan Pengadilan HAM yang dibentuk apakah Pengadilan HAM permanen atau Pengadilan HAM Ad Hoc? Namun berdasarkan Pasal 228 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hanya memiliki kewenangan mengadili pelanggaran yang terjadi sesudah UU tersebut dibentuk. Terlepas dari permasalahan tersebut, Indonesia tidak mengenal kadaluarsa yang diatur oleh Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan membolehkan asas retroaktif untuk kasus pelanggaran berat HAM sesuai Pasal 43 tersebut (untuk kasus masa lalu digelar lewat pengadilan HAM Ad Hoc). Bahwa keperluan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu di Aceh bukan hanya karena adanya kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM, tetapi lebih penting dari itu, adalah tanggung jawab negara untuk menegakkan HAM dan memberikan keadilan bagi korban.