Urgensi Jabatan Wakil Gubernur
Muhammad Ridwansyah, S.H., M.H | Senior Associate
ridwan@wainadvisory.com
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diterapkan berdasarkan prinsip demokrasi sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintahan daerahpun terus berkembang di berbagai aspek, namun demikian ada salah satu aspek yang masih menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, yakni kedudukan Wakil Gubernur. Jika merujuk pada Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 hanya menentukan adanya jabatan Gubernur tetapi tidak menentukan jabatan Wakil Gubernur. Di pasal lain justru menentukan secara eksplisit adanya jabatan Wakil Presiden. (Tri Suhendera, 2017: 114).
Secara teoritis jabatan Wakil Kepala Daerah (baca: Wakil Gubernur) tidak pernah disinggung ketika perubahan materi Bab IV tentang pemerintahan daerah yang dibahas dalam sidang panitia Ad Hoc untuk perubahan kedua UUD Tahun 1945 pada tahun 2000. Pada saat rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dibahas pada tahun 2004, Harun Al-Rasyid menegaskan bahwa jabatan Wakil Gubernur itu inkonstitusional. Sebagai pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat seharusnya jabatan wakil kepada daerah itu diatur dalam UUD Tahun 1945 karena apabila tidak diatur maka jabatan itu memang tidak diperlukan dan tidak perlu diadakan dalam undang-undang.
Pemerintah Daerah di negara lain sebenarnya tidak menggunakan wakil dalam pemerintahan daerahnya, contoh saja di Amerika Serikat, Australia dan Kanada, Gubernur sebagai pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), juga tidak memiliki wakil yang sama-sama dipilih. Kebutuhan teknis akan adanya wakil dipenuhi dengan cara pengangkatan wakil gubernur yang disebut “Leutenant Governor” (Deputy atau Vice Governor) sebagai “orang kedua” dalam kekuasaan pemerintahan negara bagian, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah Wakil Gubernur, akan tetapi jabatan Wakil Gubernur ini tidak diisi melalui pemilihan umum (election), melainkan melalui pengangakatan (appointment) atas usul Gubernur. (Jimly: 2009, 59).
UUD Tahun 1945 tidak menuliskan sama sekali jabatan Wakil Gubernur namun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota. Menjelaskan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan dari prinsip kedaulatan rakyat. Keberadaan seorang Wakil Gubernur pada prinsipnya bertujuan untuk membantu meringankan tugas-tugas dari Gubernur. Wakil seharusnya menjadi “orang kepercayaan” atau tangan kanan dari Gubernur yang memiliki suatu keterikatan secara emosional satu sama lain. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, menjelaskan bahwa Wakil Kepala Daerah (Baca: Wakil Gubernur) memiliki tugas membantu kepala daerah dalam: memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mengkoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawas, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota, dan melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah (baca: Gubernur) bahkan apabila menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara.
Kedudukan Wakil Gubernur
Secara historical background, Undang-Undang pertama yang lahir setelah proklamasi kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional yang di dalamnya juga mengatur tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia. Regulasi ini nampak sangat sederhana, sehingga belum juga mengatur tentang Wakil Kepala Daerah (baca: Wakil Gubernur). pada tahun 1948, kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah mengatur kedudukan Kepala Daerah (baca: Gubernur) dengan kewenangan yang masih lemah, namun Wakil Kepala Daerah (baca: Wakil Gubernur) belum muncul dalam undang-undang tersebut. Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah-Daerah Indonesia Timur juga belum terpikir untuk mengatur jabatan Wakil Gubernur. Barulah 17 Januari 1957 oleh Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, namun masih sebatas Wakil Kepala Daaerah Istimewa. Bahkan itu tidak mutlak harus ada. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 26 menguraikan “Apabila dalam Daerah Istimewa tidak diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa, maka Kepala Daerah Istimewa, apabila ia berhalangan atau berhenti dari jabatannya, diwakili oleh Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah”.
Setelah dua tahun berlalu isu ini terus bergulir, ketika terbit Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemeritah Daerah yang menghapuskan sebagian dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, posisi jabatan Wakil Gubernur mulai dinilai penting. Menurut CST Kansil menjelaskan pada umumnya daerah-daerah Swantantra tidak mempunyai Wakil Kepala Daerah, tetapi untuk bebera daerah Swantantra tingkat I diadakan jabatan Wakil kepala Daerah mengingat pentingnya kedudukan tersebut. Pemerintah dalam hal ini mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 yang mengatur secara khusus tentang Wakil Kepala Daerah tingkat I, karena hal tersebut tidak diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959. Misalnya dalam hal ini Daerah Tingkat I Istimewa Yogyakarta dibuka celah untuk Wakil Gubernur untuk membantu Gubernur dalam menjalankan tugas dan kewajiban dan kewenangan sehari-hari. Dipertengahan bulan April, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara telah diangkat untuk masing-masing daerah tersebut seorang Wakil Gubernur.
Sebagai contoh, posisi Wakil Gubernur di Provinsi Kepulauan Riau pernah kosong dan tidak diisi dalam waktu yang lama. Jabatan Wakil Gubernur yang sejak ditinggalkan oleh Nurdin Basirun yang dilantik menjadi Gubernur Kepulauan Riau menggantikan Alm. H. Muhammas Sani sejak Mei 2016 lalu.
Apabila merujuk pada masa lalu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 menjelaskan cara pengisian jabatan Wakil Gubernur melalui “Pengusulan” dari Gubernur kepada Presiden dan Kepada Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan DPRD, maka dalam hal ini DPRD hanya sekedar memberikan persetujuan (tanpa melalui pemilihan) kepada calon Wakil Gubernur yang diajukan oleh Gubernur yang selanjutnya akan disampaikan ke tingkat lebih atas.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, ini menimbulkan konsep perubahan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang sebelumnya menggunakan konsep langsung ke Presiden melalui Mendagri yang kembali ke konsep politik melalui DPRD, alasannya sudah jelas DPRD tentu memiliki kepentingan yang berbeda atau bahkan dapat mensetting Wakil Gubernur karena tentu DPRD adalah lembaga dengan syarat akan kepentingan muatan politis.
Kondisi dewasa pengisian jabatan Wakil Gubernur merujukan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menjelaskan bahwa dalam hal Gubernur berhalangan atau dipidana maka Wakil Gubernur dilakukan pemilihan melalui mekanisme DPRD Provinsi berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung. Di regulasi ini menjelaskan partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan dua orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD. Di sini sudah sangat jelas, yang berhak mengajukan calon adalah partai politik atau gabungan partai politik pengusung yang memenangkan pemilihan kepala daerah yang lalu. Artinya dua orang calon Wakil Gubernur yang diusulkan oleh Partai Politik pengusung harus sama dan tidak bisa berbeda-beda.
Paska penangkapan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang saat ini masih dalam tahapan penyidikan, maka secara yuridis tentu yang menggantikan beliau dalam hal ini adalah wakilnya yakni Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah sebagai Plt. Gubernur Aceh. Kondisi ini tidak akan lama karena setelah putusan pengadilan (Inkracht) jabatan Plt akan didefenitifkan sebagai Gubernur Aceh yang sah. Persoalan lain ialah siapa yang akan menjadi pengganti posisi Wakil Gubernur Aceh yang kosong? Tentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 secara teknis tidak menjelaskannya. Oleh karenanya sebagai aturan umum yang penulis jelaskan di atas akan menjadi penerang bagi partai pengusung (PNA, Demokrat, PDIP, PKB, dan PDA) yang akan mencari posisi tersebut. Harapannya ialah semoga yang diusulkan nanti akan setaraf pemikirannya dengan sang Gubernur Aceh Irwandi Yusuf nanti.
Semoga.