Ramadhan Dalam Gelap

Oleh:

Sulthan Muhammad Yus, M.H.
Director WAIN

Perusahaan Listrik Negara akrab ditelinga dengan sebutan PLN. Di sektor penguasaan hajat hidup orang banyak seperti lisrik, negara telah menjalankan perintah Pasal 33 konstitusi Indonesia, karena listrik tergolong cabang produksi penting. Namun jangan lupa pemanfataannya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam masalah listrik, tidak gelap tergolong dalam tanda kemakmuran, begitu pesan UUD 1945. PLN berdiri sejak 1965 dan masih beroperasi hingga sekarang. Tak terbayangkan jumlah pelanggan yang terus berlipat. Belum terdengar ada pelanggan yang memutuskan hubungan ekonominya dengan PLN seperti menimpa perusahaan komunikasi. Ketergantungan masyarakat modern terhadap listrik hampir sama dengan kebutuhan manusia atas makanan. Negara harus mengakui kebutuhan listrik adalah bagian dari hak asasi manusia. Artinya, saat pelayanan serampangan, pelanggan punya kesempatan untuk mempermasalahkan. Peradilan harus membuka pintu yang lebar bagi pengaduan rakyat.

Melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, arah kebijakan mulai lebih liberal dengan membuka ruang bagi pihak selain PLN untuk ikut nimbrung dalam bisnis pelistrikan. Tetapi tetap dalam ruang yang terbatas. Pasal 11 menyatakan; tidak hanya BUMN c.q. PLN saja yang berhak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Namun sekarang BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik, juga punya hak yang sama dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Akan tetapi, PLN tetap mendapatkan prioritas utama penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Bagaimanapun PLN adalah perpanjangan tangan negara dalam usaha pelistrikan. Apabila PLN sebagai pemilik hak prioritas menolak, maka kegiatan ini kemudian ditawarkan kepada entitas lainnya.

Menjadi pemain tunggal, menyebabkan terbukanya ruang bagi kesewenang-wenangan. Harga terus melonjak naik. Meskipun ada yang berdalih sebatas pengalihan subsidi, menandakan logikanya mulai berpolitik. Pengguna jasa tak boleh abai terhadap kewajibannya, tapi pemberi jasa kerap lalai atas hak pengguna. Ini kah keadilan itu?. Dalam kondisi demikian, pengawasan dan etos kerja harus maksimal. Atas nama negara dan kepentingan umum, metode reward and punishment perlu dibudayakan di iklim bisnis PLN.

Ide liberalisasi sektor listrik yang menyangkut hajat hidup rakyat, tentu bukan pilihan yang tepat. Namun ide itu terus berkembang mengikuti rasa kecewa terhadap PLN. Solusinya pemerintah atas nama negara sebagai pemodal, harus lebih konsen terhadap isu-isu listrik yang telah bermetamorfosis menjadi kebutuhan utama. Tak perlu menunda-nunda karena sumber saham PLN berasal dari pajak rakyat. PLN milik negara dan diperuntukan untuk warga negara. Ditengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat, beban pengeluaran bertambah karena biaya listrik melonjak naik. Dalam kondisi yang demikian masihkah PLN tega menjerumuskan masyarakat dalam gelap.
Di Aceh, lahir anekdot “mati lampu termasuk tanda telah masuk Ramadhan, selain hisab dan rukyatul hilal”. Semoga saja PLN tidak berkomentar bahwa dengan berkah gelap, ibadah bisa lebih khusyu’ karena akan melahirkan khilafiyah baru. Listrik itu sumber dari segala sumber aktifitas masyarakat modern. Kepentingan bisnis, keperluan ibadah, kebutuhan hiburan, kegiatan sosial, dan perbankan, semua bergantung pada listrik. Aktifitas pemerintahan pun terlihat kacau, tolak tarik dan ego sektoral menyelimuti elit lokal. Mungkin hal tersebut ikut disebabkan oleh PLN sehingga belakangan ini pemerintahan cenderung mengambil kebijakan dalam gelap. Dalam narasi awam; kalimat peu syit but awaknyan, yang na diteupe sit lake peng, dirasa wajar.

Peraturan hukum yang tersedia hanya mengatur payung status badan hukum PLN. Aktifitas bisnisnya, garis korelasi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan tujuan pembentukannya hanya sebatas pendapatan negara semata. Tapi, dasar hukum bagi pengguna jasa dan hukuman terhadap penyedia jasa yang abai terhadap kewajiban, dapat dikatakan jauh panggang dari api. Indonesia memiliki undang-undang perlindungan konsumen, tapi masih lemah di tahap implementatif. UU perlindungan konsumen ompong dan tumpul. Di Adelaide, Australia. Mati lampu setengah hari dapat kompensasi sebesar tunggakan bulanan. Padahal itu terjadi diluar kesengajaan yang disebabkan oleh pohon tumbang sehingga mengganggu jalur listrik (radioaustralia.net). Saat itu berlaku di Indonesia, berarti negara Pancasila kita sudah maju dan makmur.

Zaman klasik, gelap melahirkan filosof hebat. Zaman milenial, gelap melahirkan pelaku kriminal. Bagaimana mungkin generasi Aceh bisa “Hebat” jika sejak usia dini telah dipaksa “berbuat dalam gelap”. Sesekali berfikirlah lebih keras, Pemerintahan Aceh harus lebih mengencangkan suara pada PLN. Jangan lupa undang-undang telah membuka ruang bagi pemerintah daerah, melalui BUMD terlibat dalam bisnis pelistrikan. Terlintas dalam fikiran, masalah listrik di Aceh akan selesai dengan “the power of emak-emak”. Saya percaya pada kondisi yang genting cuma kekuatan ibu-ibu yang mampu menyelesaikan, Insya Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *