Ruang Kelas dan Terorisme

Oleh:

Sulthan Muhammad Yus, M.H.
Director WAIN

 

Saya ingin memulai coretan sederhana ini dengan bercerita tentang kemajemukan ruang kelas ketika menempuh studi di fakultas hukum Gadjah Mada. Sekelas berpenghuni 20 mahasiswa/i yang berangkat dari berbagai suku, ras, agama dan golongan. Saat itulah kita belajar ber Indonesia, tersadarkan bahwa manusia berangkat dari berbagai jenis perbedaan dan tak memiliki kesempatan memilih rahim untuk sekedar berlindung dan dilahirkan. Ada penyatuan oleh tujuan dan kehendak serupa dalam merawat dan menyikapi perbedaan.

Penghuni bumi mesti belajar melihat sesama dengan tatapan manusia dan kemanusian. Keadaan telah mendesain persekumpulan dalam perbedaan ini, sudah sepatutnya terbentuk budaya toleransi diantara sesama penikmat alam semesta. Sebagai ilmu pengetahuan, mengetahui dan mempelajari masing-masing agama tentu penting bagi proses membangun kesatuan. Begitu cara ruang kelas tersebut dalam memahami Bhineka Tunggal Ika.

Ada urusan mendesak dari pada sekedar pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu. Naif di era es kepal masih ada pihak-pihak yang berupaya memonopoli kebenaran, intoleran atas perbedaan, salah menyalahkan, saling menebar permusuhan dan menggunakan kekerasan untuk memaksakan persatuan. Apakah terlupa andaikan di awal proses perumusan dasar negara yang menguasai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah kelompok yang ngotot terhadap satu ideologi dan pemahaman tertentu, mungkin Indonesia tak pernah ada. Saya membayangkan suasana kebatinan para perumus yang tergoncang akibat perbedaan ideologi dan alotnya perdebatan. Tapi dengan jiwa besar negarawan dalam melihat realitas sosial dan politik kala itu, BPUPKI berhasil menyatukan segala perbedaan dalam sebuah kesepakatan bersama. Pancasila sebagai dasar negara sudah selesai dan final, sekarang residunya adalah tujuan negara dalam konstitusi yang belum tercapai. Ini problem besar negara sekarang yaitu mewujudkan perintah konstitusi tersebut sesegera mungkin.

 

Perppu terorisme belum tepat
Peristiwa hukum yang baru-baru ini terjadi di Mako Brimob, pengeboman terhadap tiga gereja dan Mapolresta Surabaya dijadikan sebagai momentum untuk memprovokasi Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai respon atas lambatnya revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jangan terprovokasi Mr Presiden, karena dorongan untuk Perppu bagian dari sikap ketergesa-gesaan dalam berhukum. Saya berpandangan Perppu terorisme belum tepat, mandeknya pembahasan revisi undang-undang terorisme bukan alasan yang fair dan layak dikemukakan dihadapan publik dalam situasi rakyat sedang saling bahu membahu berangkulan melawan teror.

Indonesia tidak sedang mengalami kekosongan hukum untuk menyelesaikan masalah terorisme, ada undang-undang yang sedang berlaku. Perlu kejelian semua pihak dalam memplototi revisi uu terorisme ini. Apalagi ditambah dengan rencana Perppu. Jangan sampai karena amarah dan kepanikan sesaat negara luput dari hak asasi dan demokrasi. Persoalan defenisi terorisme saja belum ada titik temu, ditambah norma yang mengatur soal preventive action. Tidak boleh ada warga negara yang “diselesaikan” sebelum proses peradilan. Begitu cara hukum bekerja.

Masih ingatkah publik tentang catatan kasus salah tangkap tindak pidana terorisme, diantaranya menimpa 14 orang warga Poso pada tahun 2002, Tulungagung di tahun 2013, Solo tahun 2014 dan 2015. Jika ada kelalaian aparatur negara dalam melaksanakan perintah undang-undang jangan undang-undangnya yang dijadikan tersangka.

Tanggung jawab legislasi ada di DPR RI bersama-sama Presiden. Kedua cabang kekuasaan tersebut tinggal duduk bersama dan berkomitmen untuk segera menyelesaikan revisi uu terorisme. Usulan revisi uu terorisme telah diajukan sejak 2016. Andaikan ngumpul bersama pimpinan partai politik untuk bicara arah koalisi Pilpres 2019 saja sempat apalagi dalam hal ihwal kepepetan rakyat.

Bagaimanapun Perppu tak boleh diobral begitu saja. Dalam negara demokrasi, memperlonggar tafsiran terhadap “kegentingan yang memaksa” sebagai prasyarat Perppu berpotensi menjadi senjata makan tuan bagi demokrasi itu sendiri.
Proses legislasi satu pintu seperti Perppu sebisa mungkin dihindari demi terwujudnya prinsip check and balance, keseimbangan, kepastian hukum dan kestabilan politik. Pemerintah yang rajin mengeluarkan Perppu tanda adanya kegagalan dalam melaksanakan kewenangan. Selalu ada pengorbanan dan kebersamaan dalam menjalin hubungan, dimulai dari saling melepaskan ego. Apalagi Indonesia yang menerapkan konsep distribution of power dimana antar cabang kekuasaan ada kewenangan yang terbagi dan saling mengikat. Cukup contoh para pendahulu Republik saat merumuskan konsep dan dasar ketatanegaraan Indonesia.

Ramadhan telah tiba, berharap bulan suci menjadi momentum terbaik untuk saling mencintai dan hidup mesra karena kemanusian. Mendengungkan perlawanan pada para pemburu rupiah yang rela menari-nari di atas isu agama dan berjoged ria dalam pemanfaatan isu terorisme. Jangan bermain dengan teror karena teroris bukan mainan. Tak ada ajaran terorisme dalam Islam, maka berhenti mencurigai muslim. Penebar teror adalah musuh bersama apapun yang tertulis di kartu identitasnya, karena pelaku teror tergolong jenis manusia yang picik dalam berkeyakinan.

Saya yakin surga itu ada bagi mereka yang diRidhai Nya, tak perlu memaksa Tuhan untuk membenarkan perilaku membunuh. Atas nama apapun, membunuh yang tak bersalah itu dosa dan kediaman bagi pendosa ada di neraka. Urusan beragama, sebagai seorang muslim saya mentaati Lakum dinukum waliyadin.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *