JOKOWI-PRABOWO: Paket Hemat nan Nikmat?

Oleh:

Richard Yonathan Nelwan, S.H., M.H.
Executive Director WAIN


Menjelang Pemilu 2019, berbagai media pemberitaan tiba-tiba ramai membicarakan politik. Mulai dari media yang dipolitik”kan” sampe politik yang di media “kan” ramai-ramai kumpul disini.

 

Memasuki kuartal ke 2 tahun 2018, pembicaran politik ini semakin asik dan laku dijual. Dan kurang ajarnya, saya menjadi salah satu pembelinya. Jadi, tulisan ini adalah tentang isu yang beberapa hari ini berhasil mencuri perhatian saya, Jokowi-Prabowo for 2019.

 

Dikotomi politik Indonesia memang baru kali ini terasa begitu kencang dan “awet”. Kalau kita melihat sejarah Indonesia, hampir tidak ada dikotomi poltik yang se”mesra” ini. Hanya ada 3 kemungkin sederhana atas fenomena ini. Pertama, tidak ada tawaran lebih menarik untuk menjadikan itu trikotomi atau lebih, Kedua, masyarakat Indonesia sudah cukup dewasa dalam berpolitik dan berani mengambil sikap politiknya, dan Ketiga bahwa dikotomi ini memang sengaja dipelihara. Dan entah kenapa, bagi saya kemungkinan ketiga selalu lebih menarik; setidak-tidaknya selalu berhasil membuat saya bersemangat untuk menerka-nerka dan berdialektika.

 

Pada tulisan ini, izinkan saya banyak membahas kemungkinan ketiga.

 

Dalam konteks Indonesia dan dalam perspektif ilmu ketatanegaraan, jelas fenomena ini sangat menarik. Perlu diingat bahwa Indonesia memiliki sistem multi partai. Berbeda dengan beberapa Negara lainnya yang oleh sistem ketatanegaraanya memang didesain untuk menciptakan dikotomi ini, atau yang setidaknya-tidaknya seperti pada negara Amerika Serikat dan Inggris meskipun dimungkinkan adanya beberapa partai, tapi oleh sejarah dan sistem selalu berhasil mengerucutkan pada partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat, ataupun partai Konservatif dan Buruh di Inggris.

 

Bagi saya tidak kebetulan kemudian hukum ketatanegaraan yang bertugas “merekayasa” sistem politik Indonesia memilih jalan inklusif dan bukan eksklusif. Sejarah jelas mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia dibentuk oleh berbagai poros dan basis politik. Terbukti, bahwa sekalipun adanya dominasi poros tertentu saat itu, namun tidak mampu memberikan bargain power yang cukup kuat. Jalan politik bernafaskan “bhineka tunggal ika” dipilih oleh founding fathers saat itu.

 

Memang betul, masih banyak perdebatan terkait hal ini. Dan saya memahami itu, bahwa dalam politik “klaim” merupakan hal yang sangat penting. Namun, untuk saat ini, saya memilih berdamai dengan perdebatan itu, dan mengamini sejarah yang dihidupi sampai saat ini.

 

Poin apa sebenarnya yang ingin saya sampaikan? Dengan mensimplifikasi beberapa poin sejarah itu, saya berpendapat bahwa politik kebersamaan Indonesia lahir dari suatu keadaan yang diciptakan dan dipelihara, dan bukan terlahir secara natural. Pilihan lainnya tidak memungkinkan saja untuk diambil atau setidak-tidaknya tidak dipilih saat itu.

 

Poin pentingnya adalah, bahwa Indonesia memang memiliki potensi yang sangat kuat untuk memiliki 1 afiliasi kelompok politik dominan yang menyisakan kelompok politik yang bersifat oposan. Sekalipun secara kuantitas untuk penetuan posisi “dominan” antara dua kelompok ini perlu dikaji dan diuji lagi, namun setidak-tidaknya ada pertanyaan lebih penting yang harus segera dijawab. Masih pada pilihan yang samakah yang akan diambil saat ini? Pilihan untuk berdamai dan memilih politik inklusif dan kebersamaan?

 

Kembali pada Jokowi-Prabowo for 2019. Isu ini kembali mengingatkan saya pada pertentangan Hatta dan para founding fathers lainnya saat itu. Saat dimana Hatta yang diplomatis berdebat dengan Karno yang oportunis dan Yamin yang idealis dan nasionalis. Saat dimana ego dan kematangan politik beradu. Tak perlu saya rinci dalam tulisan ini, namun buah perdebatan itu sederhana, yaitu politik “bhineka tunggal ika”, politik inklusif, politik bersama. Bagi saya, momen seperti ini salah satu bentuk kedewasaan politik paling luar biasa dari seorang politisi sekaligus negarawan. Saya kira bagi seorang politisi, jauh lebih mudah merebut dan mempertahankan kekuasaan, daripada membagi suatu kekuasaan.

Saya kira bagi seorang politisi, jauh lebih mudah merebut dan mempertahankan kekuasaan, daripada membagi suatu kekuasaan.

 

Bukan dengan maksud menafikan kemungkinan ataupun peluang calon lainnya, namun untuk menfokuskan tulisan ini, bagi saya Jokowi dan Prabowo kembali dihadapkan pada perdebatan itu. Saya kira tidak ada satu orangpun yang menyangkal atau menentang bahwa dikotomi politik ini banyak membawa dampak buruk bagi bangsa. Apalagi politik Indonesia yang sudah terbiasa dalam iklim demokrasi yang “adem ayem”, dikotomi politik ini kadang membuat pemerintahan dan Negara secara keseluruhan menjadi sangat dinamis.

 

Dorongan ide ataupun isu yang dibuat oleh sekelompok orang tertentu mengenai wacana Jokowi-Prabowo for 2019 bukan isapan jempol atau kebetulan semata. Menurut saya ini keadaan politik yang sengaja diciptakan dan didesain sangat rapih. “Paket Hemat” ini sengaja disuguhkan ke publik Indonesia, mengingat keadaan bangsa saat ini. Tanpa perlu berdialektika, dengan sangat cepat bisa saya bayangkan sodoran kenikmatan utama “Paket Hemat” ini. Bisa saya kira-kira, mungkin slogan utamanya “pilih paket hemat, hemat biayanya, hemat konfliknya”. Dan, celakanya, dimana-mana paket hemat selalu nikmat.

 

Jelas banyak konsekuensi jika wacana ini betul terjadi. Dalam skenario optimis, keamanan dan kestabilan politik dan perekonomian Negara akan terjaga. Namun, dalam skenario pesimis adalah teriptanya stagnasi Negara, dimana sebenarnya dikotomi politik baru saja menemukan babak barunya. Usaha mendamaikan 2 poros politik dalam satu bingkai kekuasaan berwujud pemerintahan Negara malah memberikan politik ”baku sandera” yang sangat tinggi. Apalagi perlu diingat rumus formula sederhana dalam politik yang hampir selalu terjadi dalam setiap tingkatan politik, yaitu “wakil hari ini, ketua besoknya; wapres periode ini, presiden periode selanjutnya”. Harus diakui, mungkin ini terkesan sangat mensimplifikasi, tapi harus juga diingat bahwa Jokowi memasuki periode kedua, dan pastinya PDIP sebagai partai pengusung utama pada periode pertama pasti berhitung rapih. Hanya perlu diingat juga bahwa dalam setiap usaha perdamaian adalah menciptakan persatuan. Usaha mendamaikan 2 poros politik dalam 1 bingkai pemerintahan ini pada akhirnya akan berujung pada kemungkinan terciptanya 1 poros politik (mono) . Nah, 1 poros inilah nantinya yang perlu didefinisikan secara sangat hati-hati oleh para stakeholders bangsa ini.

 

Pada akhirnya, sebagai warganegara yang baik, tugas saya dan kawan-kawan sangat mudah, yaitu berpikir dan bertanya. Jokowi – Prabowo for 2019, sehemat dan senikmat itu kah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *