POLITIK ACEH, SHUTDOWN*
Oleh:
Sulthan Muhammad Yus, M.H.
Director WAIN
*tulisan ini dimuat pada kolom Opini harian Serambi Indonesia tanggal 24 April 2018
Beberapa waktu belakangan ini, isu politik muncul bergantian di Aceh. Isu tersebut acap menyeret hukum sebagai nilai tawar, padahal hukum ada untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Cara cabang kekuasaan melaksanakan kewenangannya amburadur, bahkan penyelenggaraan pemerintahan Aceh cenderung serampangan. Tafsir terhadap sebuah regulasi dibentuk sesuai selera penafsir. Saya berkeyakinan bahwa mereka lupa, kalau negara dan pemerintahan itu ada untuk mencerdaskan anak bangsa serta memastikan kesejahteraan rakyat. Itu perintah konstitusi, dasar hukum dari semua aturan dan kebijakan.
Mengawali 2018, Rakyat dibuat bingung, khawatir, takut, resah karena APBA tak kunjung disahkan. Maklum saja, mayoritas rakyat Aceh menggantungkan nasibnya pada APBA. Bayangkan sumbatan yang terjadi akibat keterlambatan anggaran, petani kesulitan menjual hasil produksinya dan berefek terhadap pelunasan hutang di awal masa tanam. Pedagang merugi karena penurunan omset akibat daya beli yang menurun. Rakyat Aceh sengsara dalam ketidakpastian. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2017 menunjukan jumlah rakyat miskin sebesar 829 ribu orang atau 15,92% dari total penduduk Aceh. Oleh karena itu rakyat butuh kejelasan, butuh keseriusan aparatur negara dan butuh political will yang berpihak. Jangan lupa bahwa itu semua adalah hak konstitusional rakyat. Hukumnya wajib bagi Gubernur dan DPRA mengedepankan keberpihakan untuk rakyat. Rasa bosan dengan tontonan kerumitan politik yang menghambat peradaban. Meskipun akhirnya disahkan melalui payung Pergub, namun konflik tersebut berakibat pada traumatik masyarakat. Asa rakyat terhadap perubahan menjadi lemah, efeknya tingkat kepercayaan publik terus menurun terhadap pelaku politik di Aceh. Menye galak bek galak that, enteuk hana galak le, dalam politik kalimat itu efektif bekerja. Sila ditelaah kembali, hampir setiap tahun drama APBA berulang.
DPRA, institusi yang bertugas bicara gagal melaksanakan tugasnya. Kekonyolan dalam melaksanakan fungsi telah berakibat pada hilangnya daya tawar. Dalam politik anggaran, kejelian adalah kunci. Dengan kejelian program-program siluman tak bertuan dan tak berguna bagi rakyat bisa diminimalisir, mengingat jumlah uang yang terbatas. Politisi debutan tak berkonsep serta mikin ide itu berhasil mendominasi kursi DPRA. Efeknya fungsi budgeting DPRA berjalan mandek.
Legislative dan eksekutif seperti kehilangan fokus dan arah. Mereka gamang dan asik dalam dagelan. Demi popularitas, Pemerintahan Aceh berisik saat isu remeh temeh tapi populer. Saat yang berdampak sistemik seperti irigasi dan pupuk bagi petani, kenyamanan berusaha bagi pengusaha, pendidikan dan kesehatan bagi rakyat miskin kebanyakan diam karena tak memiliki solusi kongkrit apapun. Aceh butuh kepemimpinan yang visioner, perwakilan yang cerdas, berwibawa dan menguasai masalah, serta masyarakat yang melek terhadap peradaban. Dengan demikian Aceh layak sebagai provinsi berkarakter Islam. Thomas Alva Edison mengingatkan bahwa tidak ada jalan keluar yang dipakai untuk menghindarkan diri dari sesuatu hal kecuali dengan berfikir.
Politik menjadi tegang, tak terlihat lagi persekawanan untuk kemajuan diantara Gubernur dan DPRA. Padahal regulasi mengingatkan keduanya untuk saling berjibaku bersama. Harapannya sederhana, rakyat memiliki trust, hidup dalam kenyamanan dan ketentraman.
April hampir berakhir, hingga detik ini kegaduhan masih mewarnai dinamika politik keacehan. Belakangan rakyat disuguhkan pada pertikaian berjilid, lagi-lagi dalam isu remeh temeh yang tak berpengaruh pada kehidupan ril masyarakat. Konstalasi politik lokal jauh dari perdebatan ilmiah, ruang diskursus publik tertutup oleh rasa benci akibat perbedaan pilihan politik rakyat. Caci maki lebih mewarnai media sosial kita dibandingkan tawaran-tawaran kongkrit bagi pembangunan. Yang harum dipublik kini adalah penawaran untuk paket proyek, efek dari APBA yang terlambat. Semestinya april lebih maju dari april yang kita rasakan sekarang. Belum selesai dinamika pergub, terakhir tersiar kabar bahwa Pergub akan disengketakan diperadilan. Maklum, mungkin ini adalah euforia berlebih atas keberhasilan gugat-menggugat beberapa bulan silam terkait UUPA yang dilucuti Jakarta. Beda kasus beda efeknya, beda pendekatan akan berbeda pengambilan keputusan, namun satu yang hampir pasti bahwa rakyat kembali terancam dalam ketidakpastian.
Kini publik kembali dihebohkan oleh metode pelaksaan hukuman cambuk bagi terpidana kasus jinayah. Ada yang pro dilaksanakan secara terbuka, namun tak sedikit pula yang setuju tertutup. Alatnya lagi-lagi sama, Peraturan Gubernur. Padahal jika ditelisik lebih jauh, kedua metode tersebut sama sekali tidak menghilangkan esensi pelaksanaan hukuman cambuk. Cara yang berbeda, namun tujuan tetap sama, keadilan.
Apakah kita menyadari bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun yang akan datang, dana otonomi khusus akan berakhir. Pasal 183 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyebutkan bahwa: (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Ayat (2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota sejak 2008 hingga 2017 sudah menerima alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar Rp56,67 triliun. Tahun 2018 besaran dana yang diterima mencapai Rp 7,9 triliun.
Kini Aceh masih menikmati dana otsus yang 2% itu, sebentar lagi menyisakan 1% untuk jangka lima tahun kemudian, diprediksi jumlah 1% itu sekitar 3-4 triliun namun tergantung plafon DAU, tahun 2027 semuanya selesai. Lantas bagaimana nasib pembangunan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial dan kesehatan rakyat Aceh kedepan? Apakah cukup dengan melihat sambil menunggu bola panas itu datang dan membakar habis mimpi-mimpi generasi muda Aceh kedepan. Bek sampe abeh batre bak pebulat-bulat lampu sente. Menyadari waktu yang semakin mepet dan persaingan global yang semakin menantang. Aceh butuh fokus pada aspek hajat hidup orang banyak. Gubernur selaku kepala pemerintah Aceh bersama DPRA sebagai mitra dalam memadu kasih semestinya keluar dari ego sektoral dan kegamangan yang sistematis. Ada banyak pekerjaan rumah di Aceh yang mesti diselesaikan untuk kemajuan, tentu yang dapat diukur keberhasilannya oleh publik.
Jumlah orang cerdas di Aceh banyak, namun miskin negarawan. Dalam stock yang melebihi cukup itu semuanya bisa duduk bersama. Aceh butuh manivestasi baru menuju pembangunan yang berpihak bagi rakyat. Dalam sisa dana otonomi khusus yang tinggal tak seberapa itu ada asa untuk melihat Aceh yang langka orang miskinnya, Aceh yang baik pelayanan kesehatannya, Aceh yang maju ekonomi rakyatnya, dan Aceh yang berkualitas pendidikannya.
Rasa acuh masyarakat terhadap kondisi politik negara diakibatkan oleh terbelenggu rasa takut dan terjebak dalam kondisi terpuruk. Jangan pernah ragu mengambil satu langkah yang besar karena kita takan mampu melompat tinggi dengan lompatan yang kecil. Dalam hal ini masyarakat harus melek terhadap prioritas memajukan Aceh. Yang berkewajiban untuk “menerangkan” rakyat bukan PLN. Tapi Gubernur bersama-sama DPRA.