‘Makar’ Yang Konstitusional*
Oleh:
Sulthan Muhammad Yus, M.H.
Senior Partner
TRAUMA politik masa lalu tidak boleh mengganggu konsolidasi demokrasi dan negara hukum kita, belajar dari sejarah memang perlu, tapi menakut-nakuti warga negara menggunakan masa lalu ialah cara usang yang harus ditinggalkan. Menelisik berita penangkapan 8 orang yang diduga melakukan upaya makar oleh kepolisian, membuat kita bertanya-tanya ada apa gerangan. Kejadian ini mengingatkan tentang cara-cara subversif rezim masa lalu yang menghantui sejarah Indonesia.
Makar ialah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Pasal 104 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi makar dalam tiga macam, yaitu: Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh presiden atau wakil presiden; Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk merampas kemerdekaan presiden atau wakil presiden, dan; Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan presiden atau wakil presiden tidak dapat menjalankan pemerintahan. Hukuman yang diancam atas tindakan makar ini adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
18 Tahun sudah reformasi yang di dalamnya memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, kini akan berakhir di persimpangan jalan. Pasal 107 KUHP mengenai penggulingan pemerintahan yang sah juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP tentang makar digunakan untuk menangkap Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko, dan Alvin Indra. Hal ini terkesan tergesa-gesa dan dikhawatirkan menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat. Kepolisian seyogyanya mempertimbangkan memories van toelichting pasal-pasal tersebut.
Harus berhati-hati
Penyalahgunaan pasal makar dapat berimplikasi negatif dan menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa pasal makar digunakan sebagai alat untuk membungkam pengkritik setia kekuasaan. Kepolisian sebagai penegak hukum harus berhati-hati dalam menggunakan pasal makar untuk menjerat, karena konstitusi Indonesia telah mengakui kedaulatan rakyat sejak awal kemerdekaan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Aristoteles mengatakan, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berdaulat hukum.
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Pengakuan tersebut sejalan dengan pengakuan negara terhadap kedaulatan rakyat. Singkronisasi kedaulatan rakyat dalam sebuah negara hukum menghendaki setiap warga negara dan seluruh aparat penegak hukum untuk senantiasa beraktivitas berdasarkan aturan hukum yang ada.
Di antara ciri negara hukum menurut International Congress of Jurist (ICJ) adalah adanya proteksi konstitusional, adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak, adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat, serta adanya tugas oposisi. Di sisi lain, Brian Z Tamanaha menuliskan pengertian negara hukum ialah adanya pembatasan oleh hukum kepada pemerintah, sehingga negara hukum hadir untuk melindungi rakyat dari penekanan dan pengaturan harus berdasarkan pada rule of law bukan rule of man, sehingga yang dibutuhkan oleh penegak hukum adalah self restraint.
Pasal 28 huruf E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Konstitusi memberikan ruang sebesar-besarnya kepada setiap warga negara untuk mengambil peran mengontrol kebijakan pemerintah dan menggunakan hak-hak yang dijamin hukum. Aparat penegak hukum tidak boleh menggunakan standar ganda dalam menjalankan kewenangannya. Jangan sampai ke depan Indonesia mengalami preseden hukum buruk, di mana setiap upaya menjatuhkan kekuasaan yang berhasil disebut revolusi, tapi bagi yang gagal disebut makar.
Memperhatikan cara-cara yang ditempuh Rachmawati cs dalam menyuarakan pendapatnya, penulis menggolongkannya dalam “makar” yang kostitusional. Di mana keyakinan politiknya tentang urgensi bagi Indonesia untuk kembali ke UUD 1945 yang asli dan harapan pencabutan mandat presiden bukan dengan cara revolusi berdarah, melainkan menggunakan jalur konstitusional yaitu MPR. Cara demikian harus dilihat sebagai kematangan Indonesia dalam berdemokrasi dan bernegara hukum.
Penulis tidak sedang menilai kebenaran tentang apa yang diyakini oleh orang lain benar, tapi memberikan ruang sebesar-besarnya untuk berpendapat merupakan amanat konstitusi. Dan kita selaku warga negara, bersama pemerintah sebagai penyelenggara serta aparat penegak hukum, secara bersama-sama harus taat hukum.
Pasal 7A UUD NRI 1945 menyatakan; Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya Pasal 7B UUD NRI 1945 yang mengatur terkait mekanisme dan proses pemakzulan menjadi bukti Indonesia tidak alergi terhadap pergantian kekuasaan secara paksa, meskipun syarat dan prosedurnya membutuhkan tempo dan tidak mudah untuk dijalankan.
Ancaman nyata
Pengaturan terkait impeachment presiden memang dikehendaki oleh negara hukum Indonesia agar tidak pernah lagi memberikan ruang bagi calon-calon diktator baru. Jika pada 5 Desember 2016 kapolri dipanggil Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum, untuk diminta penjelasannya terkait serangkaian peristiwa beberapa waktu sebelumnya, bukankah tidak salah jika MPR atau DPR turut memanggil Kivlan Zein cs untuk didengarkan aspirasinya. Bisa jadi gerakan yang terlebih dulu dibungkam itu mengandung bukti awal adanya dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden. Ruang-ruang demokrasi harus dikedepankan dalam kehidupan ketatanegaraan, kecurigaan yang berbasis kebencian, ketakutan politik kekuasaan, fitnah dan penangkapan yang tidak berdasar merupakan ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi dan negara hukum.
Konstitusi memberikan kewenangan bagi setiap lembaga negara sesuai tupoksinya. Hendaknya menjalankan hukum sesuai aturan hukum itu sendiri agar pandangan Karl Marx bahwa hukum adalah alat bagi kekuasaan untuk menindas rakyatnya tidak pernah terjadi lagi di Indonesia. Di era demokratisasi hukum saat ini, kepolisian hendaknya menegakkan prinsip lex certa (jelas) dan lex stricta (ketat) dalam penegakan hukum. Ruang penggunaan pasal-pasal karet harus diamputasi. Pandangan demikian bukan berarti kita alergi terhadap peradilan sebagai alat untuk menemukan keadilan, akan tetapi proses peradilan pidana yang tidak hemat biaya dan membutuhkan waktu panjang, tentu merugikan bagi warga negara yang ditangkap dan dituntut dengan alasan hukum yang relatif mengada-ada.
Besar harapan, pihak kepolisian bekerja secara profesional dan tetap menjadikan hukum sebagai panglima. Agar tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian terus meningkat dan bersama-sama menjadi pelayan dan pelindung masyarakat. Untuk menghindari hal serupa dapat terulang sewaktu-waktu, lembaga negara pemegang mandat rakyat bersama presiden serta seluruh jajarannya harus saling bersinergi dalam menjalankan kekuasaan negara.
Sinergitas antarlembaga tinggi negara ialah cerminan dari demokrasi ala Pancasila. Kemudian revisi terhadap KUHP harus segera diselesaikan, terutama mengenai pasal-pasal yang membungkam kebebasan berpendapat dan berserikat agar tidak ada lagi warga negara yang dirugikan. Kematangan demokrasi serta disiplin negara hukum harus terus dikonsolidasikan agar tercipta keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
*Tulisan ini dimuat juga dalam media SERAMBI INDONESIA, 20 Desember 2016